Tinggal di kos tidak selalu identik dengan mi instan, karena banyak sekarang penghuninya yang sudah cerdas memilih makanan terjangkau. Bukan hanya perkara santapan, hidup mandiri sebagai anak kos berarti melalui fase yang penuh warna. Kadang menyenangkan, kadang menyebalkan. Menetap di kamar petak-petak ini memberi kita rasa kebebasan mengatur hidup. Tiada yang menjadwalkan jam tidur atau mengomel jika kamar berantakan. Tetapi di sisi lain, menetap di kos juga bakalan diwarnai krisis kecil, kalau tidak mahir mengatur anggaran. Jauh dari keluarga dan belajar bertahan hidup sendiri, awalnya mungkin menakutkan. Namun, setelah dijalani, meski tak mudah ternyata bukan perkara mustahil . Tinggal dalam ruangan sempit ini memberikan pilihan, mau hanyut dalam krisis kecil atau keluar sebagai pejuang tangguh. Bermukim dalam kamar kos menawarkan kebebasan dalam menentukan pilihan dalam hal apa saja. Tepat memilih, semakin baik hasilnya untuk hari esok. Demikian pula sebaliknya...
Baru-baru ini, saya pindahan dari tempat lama ke lokasi pemukiman baru. Suasananya berbeda 180°. Jika tempat lama berada di pinggiran kota yang dikelilingi pepohonan, maka daerah baru ini terletak di tengah kota. Padat, tapi sekarang mau ke mana saja sudah dekat. Meskipun demikian, tetap ada plus minus pada setiap lokasi pemukiman. Walaupun dikelilingi fasilitas publik yang lengkap, tapi di daerah ramai sebaiknya berhati-hati mengurus kantong. Bagaimana tidak, mulai dari pasar, minimarket, aneka penjual makanan, hingga mal berdiri gagah di pinggir jalan. Lokasi nongkrong seperti ini dapat membuat pandangan mata semakin silau. Kalau ceroboh atau lalai menyusun anggaran, dijamin kantong semakin menipis dan badan pun ikut kempis. Meski menetap di pinggiran kota bukan berarti tidak bisa boros, hanya saja pilihannya lebih minim. Beda dengan yang di tengah kota. Jalan sedikit dari rumah, langsung ketemu tempat-tempat yang pas untuk cuci mata. Intinya, mau tinggal di pinggiran atau ten...